Aku pergi dulu ya nis
Itu sms terakhir dari Sidik sebelum dia berangkat ke Nusa
Tenggara Barat, untuk menuntaskan tanggungjawabnya sebagai ketua umum organisasi pecinta
alam di kampusku. Dia mengerjakan salah satu program kerja organisasinya untuk mendaki gunung yang berada di Indonesia, dan besok dia menapakkan kakinya di atas puncak
tertinggi, Rinjani. Dia pasti akan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, tak terbatas, tanpa
mengkhawatirkan polusi, dan juga melihat pemandangan
menakjubkan.
Aku akan merindukannya. Sosok
yang gagah dan bertanggung jawab itu adalah seseorang yang selalu hadir dalam
setiap mimpi, menemaniku dalam kesendirian, dan menjadi moodbooster kesayangan. Dia hadir melengkapi hari-hariku. Dia
perlahan masuk dalam hembusan nafas, yang teratur masuk dari hidung, lalu ke
kerongkongan, menuju paru-paru, namun tersesat ke dalam hati, dan menjadi salah
satu penghuninya.
“Heh, ngelamun aja!” suara Falah mengagetkanku.
Aku terkejut. Dadaku hampir copot dibuatnya. “Ih, ngagetin aja,” aku
mencoba keluar dari lamunan. Gawat, Falah tidak boleh mengetahui apa yang ada
dipikiranku. “Gimana udah siap?” tanyaku mengalihkan.
“Oh, siap dong, tinggal berangkat,” ucapnya kemudian sambil mengecek
lagi barang-barang yang hendak dibawanya.
“Ke sana naek apa sih?” tanyaku.
“Naek pesawat dulu ke Bali, langsung nyebrang pake kapal ke sananya.
Kenapa? Mau ikut?” ajak Falah sambil mengedipkan mata.
“Hmm… mau bebep. Pengen ikut, nanti kalau aku kangen gimana?” ucapku
manja.
Falah hanya tertawa, lalu memelukku erat, “Nih gini caranya kalau
kangen, peluk aja, nanti kangennya ilang.”
Aku hanya terdiam dalam pelukannya. Bodoh, aku meluk siapa kalau kamu
pergi. Tapi aku tidak berkomentar apa-apa, hanya merasakan hangat tubuhnya
sebelum dia berangkat naik gunung. Naik gunung? Ya dia adalah salah satu
anggota Pecinta Alam yang diketuai oleh Sidik, yang akan ikut serta
menginjakkan kakinya di puncak Rinjani.
“Jam berapa berangkatnya bep?” Tanyaku masih dalam pelukannya.
“Besok jam 9.”
“Hah? Sama dong…” teriakku sambil melepaskan pelukan.
“Dia juga berangkat jam 9?”
Aku hanya mengangguk. Falah tersenyum menjailiku. Hidup ini sungguh
rumit. Memang rumit atau aku yang membuatnya rumit? Rumit! Aku menghela napas
panjang. Falah memelukku lagi, entah, sangat nyaman dipeluk dan berada di
sampingnya. Hingga melupakan kerumitan ini…
***
Tepat pukul 09.00 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
“Aku pergi dulu ya sayang, doain semoga betah di sana” ucapnya sambil
mengecup keningku.
“Iya, hati-hati ya,sayang, jangan nakal loh!” ucapku manja dan langsung memeluknya erat seakan tidak ingin pisah darinya.
“Iya. Pasti kangen banget sama pacar aku yang cantik ini. Dadah sayang!”
ucapnya yang pelan-pelan melepaskan pelukanku, lalu menjauh dan menghilang dibalik pintu keberangkatan
itu. Hati ini serasa tak karuan, ditinggalkan oleh orang-orang tersayang.
Aku melambaikan tangan, berharap ikut serta dalam perjalanan itu. Falah
dari jauh juga melambaikan tangan. Aku tersenyum dan disambut oleh senyum
nakalnya. Falah kemudian mengedipkan mata. Ada perasaan yang tak karuan menjadikannya rumit, terkadang aku ingin mengakhirinya, namun keegoisan ini membuat diam dan mengabaikannya.
Sore harinya, terdengar suara ringtone handphoneku. Layar Handphone bertuliskan Bebep Falah. Aku
langsung mengangkatnya, “Halo”.
“Halo bep, baru turun banget dari pesawat nih, pengen denger suara kamu," suaranya yang hangat selalu membuatku nyaman.
"Baru sebentar juga, masa udah kangen?" godaku.
"Hehe, ya gak apa-apa dong sama pacar sendiri ini."
Aku hanya diam dan mendengarkannya, "Oia, aku tadi duduk sebelahan sama Sidik.
Dia cerita tentang kamu loh, tapi aku pura-pura nggak tau aja bep. Dia kayanya suka
sama kamu. Cerita kamu sering sms bangunin dia, ngingetin kuliah, ngingetin
makan, pokoknya ngomongin kamu. Dari nada bicaranya sih kayanya dia kagum sama
kamu."
Hatiku mulai bergemuruh. Aku berusaha tenang walau sebenarnya jantung ini tidak bisa
menutupi perasaanku yang bergejolak. “Oya?” Tanyaku singkat, menutupi kegugupanku.
“Dasar nakal, aku cemburu nih! Haha. Hmm, tapi kayanya dia sadar kalau
aku lagi deket sama kamu. Soalnya dia bilang gini, lagi deket ya sama orang
yang udah punya pacar. Gitu bep, haha.” ucap Falah sambil tertawa yang
terdengar agak dipaksakan.
Dan sekarang aku benar-benar diam. Jantung ini serasa berhenti berdetak.
“Dia sebenernya kagum sama kamu,
tapi udah ya nakalnya. Jangan sms dia lagi. Cukup Faisal yang aku toleransi,
karena dia pacar kamu. Aku nggak mau kamu nakal sama orang lain. Cukup aku aja.
Kamu jangan sakitin Faisal lagi, Faisal adalah yang terbaik buat kamu. Kamu masih dengar aku kan?"
Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Semuanya menjadi serba rumit. Aku diam, masih tetap diam, mendengarkan apa yang diungkapkan oleh pacar gelapku itu.
"Oya, tadi Faisal duduk di depanku, Bep. Wajahnya ganteng ya, aku mengakui sebagai seorang pria. Dia gagah, berkharisma, dan keren kamu memang cocok sama dia. Aku minder, aku
cuma mahasiswa, dia udah lulus. Bolak-balik Bandung-Bali karena punya kerjaan
tetap. Kamu beruntung, masa depan kamu
terjamin kalau sama dia. Sama aku kamu bakalan susah. Mungkin saat ini aku hanya
bisa membuatmu nyaman dan menggantikan posisinya, tapi aku 100% sadar pada akhirnya aku bukanlah pilihan," Falah tiba-tiba diam.
Lalu dia melanjutkannya lagi, "Walau aku bukan seorang yang kamu pilih, kamu harus tahu bahwa aku siap ada di samping kamu saat
ini, mencintaimu sepenuh hati. Aku mungkin bukan nomor satu dihatimu, tapi kamu segalanya bagiku. Maaf tadi aku sedikit cemburu,
saat dia mencium kening kamu…"
"A...aaa.. aku rela, seandainya suatu saat nanti kamu pergi ninggalin aku, untuk dia. Aku sayang kamu, Fanisya…” ucapnya lirih dan langsung menembus hatiku.
Tanpa sadar, air mataku menetes....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar