Aku terjaga dari bunga tidurku yang panjang. Ku gesek kedua mata yang masih tertutup rapat dengan telapak tanganku cepat. Aku terdiam, mengatur nafas yang tersenggal-senggal dengan kesusahan. Entah mimpi apa aku semalam sehingga membuat hati tak menentu rasanya.
Ku lihat jam dinding yang sedang menunjukan pukul enam pagi, waktu dimana seharusnya orang-orang ramai mempersiapkan kegiatan paginya. Namun, sepertinya suasana yang dihadirkan di rumahku tidak demikian, begitu damai dan tenang, sepi sekali. Tidak mungkin rasanya kalau Mama belum bangun.
Ku langkahkan kaki menuruni anak tangga satu persatu. Hingga pada anak tangga terakhir ku sapukan pandangan ke seluruh ruangan sampai tak ada sedikit pun yang luput dari pandanganku, tapi aku tak menemukan mama dimana-mana. Tak kurasa keringat membanjiri tubuhku. Aku banyak kehilangan cairan tubuh akibat mimpi menyeramkan itu. Pantas saja tenggorokanku terasa sakit dan kering. Ku dekati lemari es yang terletak tidak jauh dari tempatku berada, untuk mengambil sebotol air dingin. Sebelum membuka pintu, ternyata aku menemukan secarik kertas yang sepertinya itu pesan dari mama.
Pantas! Kenapa rumah begitu sepi, ternyata mama pergi ke Bandung, kota dimana kakek dan nenek berada. Seandainya saja aku memiliki seorang adik, mungkin rumah ini tidak akan sepi seperti ini. Rumah ini memang hanya ada aku dan mama."Gadis,Mama pergi ke tempat kakek dan nenekmu,Tidak lama kok sayang Cuma tiga hari, nenekmu sakit.Maaf tidak memberitahumu sebelumnya, baik-baik ya!"Mama.
Ayahku telah bercerai lima tahun yang lalu dengan mama, membawa semua kebahagiaanku, kepercayaanku, dan harapanku. Saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, terlalu labil untukku merasakan permasalahan hidup seperti itu. Waktu terus berjalan, aku tersadar dari lamunanku. Mengapa aku memikirkan hal itu lagi? Padahal aku ingin sekali melupakannya. Ternyata aku masih belum bisa melupakannya. Ah sudahlah, aku harus segera bersiap untuk pergi ke sekolah.
***
Kenangan itu kembali hadir di dalam ingatanku. Semakin aku ingin melupakannya, semakin kuat bayangan itu hadir dalam ingatanku, membuatku ketakutan setengah mati. Aku merasa dikejar-kejar memori masa lalu, kenangan yang teramat pahit itu selalu menghantuiku dan membuatku tak kuasa mengingatnya kembali.
Wajahku pucat. Nafasku tersenggal-senggal sehingga tak dapat bernapas dengan benar. Tubuhku seketika mengeluarkan cairan. Aku berkeringat cukup banyak.
"Arrggh!!" aku berteriak sejadinya dan tersadar dari lamunanku. Farrah, teman sebangku kaget bukan kepalang. Untungnya saat ini sedang istirahat sekolah.
"Dis, kenapa? mukamu pucat sekali, kalau kamu sakit sebaiknya istirahat di rumah saja. Aku tak tega melihatnya," ucap Farrah.
"Ah... masa? aku baik-baik saja kok, kamu tidak perlu khawatir," jelasku dengan suara yang makin melemah.
"Bohong! kamu sakit, lihat wajahmu pucat sekali!" Farrah tak terima mendengar penjelasanku. Suara Farrah yang seharusnya keras tidak terdengar apa-apa olehku bahkan penglihatanku menjadi gelap tidak bisa melihat Farrah yang sedang mengomeli diriku itu.
***
Ku buka mataku pelan, saat kulihat aku telah berada kembali di rumah. Terlihat Farrah sedang tersenyum ke arahku. Aku pun membalasnya. Ada nafas panjang dalam hembusan nafas Farrah, sepertinya dia terlalu lama menungguku siuman membuatnya kecapean.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Aku panik sekali tadi, karena kamu tiba-tiba pingsan. Aku tak tahu harus bagaimana, makanya aku meminta bantuan Ganjar untuk mengantarmu pulang," jelasnya dengan raut wajah kecapean.
" Ganjar?" tanyaku sembari membetulkan posisi tidur menjadi duduk dengan alas bantal dibalik punggung dengan bantuan Farrah. Aku berpikir aneh, sepertinya aku pernah mengalami ini sebelumnya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan tampaklah Ganjar masuk ke dalam kamar. Wajahnya basah, sepertinya dia habis mencuci mukanya dengan sabun, karena wangi sabunnya tercium olehku.
"Nah itu Ganjar. Sepertinya dia akan menemanimu lebih lama, karna aku harus segera pulang. Ayahku terus menghubungiku terus, aku tak mau membuatnya khawatir. Maaf ya Gadis, aku harus pulang," pamitnya. Wajahnya terlihat kecapean, aku tidak tega memintanya mengungguiku lebih lama lagi. Jadi aku hanya mengangguk saja.
"Ehm, iya biar Gadis gue yang temenin, lo pulang aja. Enggak usah gue anterkan?" tanya Ganjar.
"Nggak usah. Tolong jaga sahabatku ini, oke? aku pamit dulu," Farrah pun berpamitan padaku dan Ganjar, lalu dengan cepat menghilang dari kamarku.
Betapa beruntungnya kamu Farrah, selalu dikhawatirkan oleh Ayahmu. Tidak sepertiku yang memiliki Ayah biadab.
***
Hari semakin larut malam, jam dinding menunjukan pukul sembilan malam. Mungkin karna mengkhawatirkan aku, sehingga Ganjar masih menemaniku. Memang kurang baik seorang pria berada di rumah dengan seorang gadis berdua. Aku pun menyadari dan bermaksud mengusirnya.
"Jar, sudah malam, apa kamu tidak dicari oleh orangtua mu?" tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku tetapi menggenggam tanganku erat. Aku terlalu lemah untuk menepisnya, sekali pun mencoba, itu sia-sia.
"Lo nggak usah khawatir, gue nggak pernah dicari orang tua, gue bakalan temenin kamu," jawabnya tak mengerti.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Kamu lebih baik pulang lagian sebentar lagi mamaku juga pulang!" tegasku setengah memaksa dia untuk pergi. Ganjar menatapku seolah tak percaya. Dia mendekati mukaku dan mencium bibirku. Aku terperanjat, ku tampar kedua pipinya sampai memerah. Dia geram dan hendak memperkosaku. Aku menjerit sejadi-jadinya dan berusaha meminta tolong, namun sia-sia. Kepalaku pusing, memori itu hadir kembali membuatku hampir gila dibuatnya. Aku terperangkap memori masa lalu...
Aku terlelap dalam lantunan syair merdu "nina bobo" yang mama nyanyikan untuk mengantarku tidur. Aku gadis kecil yang tidak tahu apa-apa tentang hidup, sedang berkasih manja pada mamaku tersayang. Aku yang sedang memasuki sebuah mimpi indah bertemu mama di sana, bermain, bercanda, dan memeluknya erat. Tiba-tiba aku terjaga dari mimpi itu dan menghadapi kenyataan pahit.
"Papah? Kenapa pah?" tanyaku kepada Papah yang sepertinya sedang mabuk karena mukanya sangat merah dan seluruh tubuhnya bau alkohol. Papah tidak menjawab pertanyaanku, dia membangunkanku secara paksa, merusak mimpi-mimpi indah itu.
Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan papah padaku. Dia membuka celana tidurku dan memasukan benda tumpul pada kemaluanku yang mengakibatkan kemaluanku sakit luar biasa. Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaanku berubah menjadi jijik, marah, sedih yang bercampur menjadi satu dan aku tidak tahu disebut apa perasaan itu. Aku tahu apa yang dilakukan Papah padaku, yaitu menyakitiku karena Papah tidak menyayangi aku lagi. Setidaknya itu yang aku pikirkan...
Mama yang datang tergesa-gesa menaiki tangga. Sesampainya di atas, mama kaget bukan main mendapati gadis kecilnya tengah dinodai oleh ayah kandungnya sendiri. Mama menjerit, membuatku meninggikan lagi suara tangisanku. Ayah terperanjat. Mama memukulnya sampai-sampai Papah tersungkur mencium lantai, kesakitan. Emosi keduanya pun memuncak, terjadilah pertengkaran pertama dan terakhir kalinya yang aku lihat.
Di sudut ruangan, mama tergolek lemas tak berdaya. Kepalanya mengeluarkan banyak darah yang dihantam kursi belajar oleh ayahku. Kejadian itu begitu cepat, aku benar-benar dalam kenyataan yang mengerikan.
Sejak kejadian itu, Papah tidak pernah menampakkan batang hidungnya di rumah ini. Di persidangan, terakhir kali aku melihat wajah Papah, begitu tua dan rapuh. Entah setan apa yang merasuki Papah sehingga ia tega melakukan ini pada anaknya sendiri. Seketika Papah melihat ke arahku, namun tidak ada tanda-tanda penyesalan dalam raut wajahnya, membuatku ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Setelah itu, aku tidak pernah melihantya lagi. Mungkin aku tidak akan pernah mau melihat orang itu lagi untuk selama-lamanya...
"Jar, sudah malam, apa kamu tidak dicari oleh orangtua mu?" tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku tetapi menggenggam tanganku erat. Aku terlalu lemah untuk menepisnya, sekali pun mencoba, itu sia-sia.
"Lo nggak usah khawatir, gue nggak pernah dicari orang tua, gue bakalan temenin kamu," jawabnya tak mengerti.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Kamu lebih baik pulang lagian sebentar lagi mamaku juga pulang!" tegasku setengah memaksa dia untuk pergi. Ganjar menatapku seolah tak percaya. Dia mendekati mukaku dan mencium bibirku. Aku terperanjat, ku tampar kedua pipinya sampai memerah. Dia geram dan hendak memperkosaku. Aku menjerit sejadi-jadinya dan berusaha meminta tolong, namun sia-sia. Kepalaku pusing, memori itu hadir kembali membuatku hampir gila dibuatnya. Aku terperangkap memori masa lalu...
***
18 April 2003Aku terlelap dalam lantunan syair merdu "nina bobo" yang mama nyanyikan untuk mengantarku tidur. Aku gadis kecil yang tidak tahu apa-apa tentang hidup, sedang berkasih manja pada mamaku tersayang. Aku yang sedang memasuki sebuah mimpi indah bertemu mama di sana, bermain, bercanda, dan memeluknya erat. Tiba-tiba aku terjaga dari mimpi itu dan menghadapi kenyataan pahit.
"Papah? Kenapa pah?" tanyaku kepada Papah yang sepertinya sedang mabuk karena mukanya sangat merah dan seluruh tubuhnya bau alkohol. Papah tidak menjawab pertanyaanku, dia membangunkanku secara paksa, merusak mimpi-mimpi indah itu.
Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan papah padaku. Dia membuka celana tidurku dan memasukan benda tumpul pada kemaluanku yang mengakibatkan kemaluanku sakit luar biasa. Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaanku berubah menjadi jijik, marah, sedih yang bercampur menjadi satu dan aku tidak tahu disebut apa perasaan itu. Aku tahu apa yang dilakukan Papah padaku, yaitu menyakitiku karena Papah tidak menyayangi aku lagi. Setidaknya itu yang aku pikirkan...
Mama yang datang tergesa-gesa menaiki tangga. Sesampainya di atas, mama kaget bukan main mendapati gadis kecilnya tengah dinodai oleh ayah kandungnya sendiri. Mama menjerit, membuatku meninggikan lagi suara tangisanku. Ayah terperanjat. Mama memukulnya sampai-sampai Papah tersungkur mencium lantai, kesakitan. Emosi keduanya pun memuncak, terjadilah pertengkaran pertama dan terakhir kalinya yang aku lihat.
Di sudut ruangan, mama tergolek lemas tak berdaya. Kepalanya mengeluarkan banyak darah yang dihantam kursi belajar oleh ayahku. Kejadian itu begitu cepat, aku benar-benar dalam kenyataan yang mengerikan.
Sejak kejadian itu, Papah tidak pernah menampakkan batang hidungnya di rumah ini. Di persidangan, terakhir kali aku melihat wajah Papah, begitu tua dan rapuh. Entah setan apa yang merasuki Papah sehingga ia tega melakukan ini pada anaknya sendiri. Seketika Papah melihat ke arahku, namun tidak ada tanda-tanda penyesalan dalam raut wajahnya, membuatku ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Setelah itu, aku tidak pernah melihantya lagi. Mungkin aku tidak akan pernah mau melihat orang itu lagi untuk selama-lamanya...
***
Malam semakin dingin. Kabut menyelimuti kawasan perumahan elite, dimana rumahku salah satunya. Udara dingin begitu menusuk-nusuk sampai ke tulang-tulang. Tepat jam dua belas malam. Ganjar tertidur pulas setelah berpuas diri mengeluarkan nafsu birahinya padaku. Yah, untuk kedua kalinya aku dinodai. "Untuk kedua kalinya..." teriakku lirih dalam insak tangis.
"KRING!!" telepon berdering. Aku menghentikan tangisku dan berusaha menghampiri meja telepon yang berjarak dekat dari tempatku berada dengan kaki terseok-seok.
Aku mengangkatnya.
"Halo! dengan keluarga Ibu Rosita Imaniar?" terdengar suara dari sebrang sana.
"Benar," suaraku tenggelam dalam insak tangis, hampit itdak terdengar sama sekali.
"Haloo... haloo....?" ucapnya lagi.
"Iya, benar," jawabku sedikit keras.
"Maaf, kami dari kepolisian ingin memberitahukan Ibu Rosita telah meninggal dunia karena kecelakaan yang berada di jalan tol. Mobil yang ditumpangi Bu Rosita menabrak sebuar truk gandeng. Ibu meninggal di tempat kejadian. Maaf saya bicara dengan siapa?" tanyanya setelah menjelaskan panjang lebar.
Aku tidak menjawab. Tanganku lemas sehingga telepon pun jatuh dari genggamanku. Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua serba gelap. Tubuhku tak berdaya. Mungkin aku pingsan, tapi mati pun tak apa-apa....
***
"Arghhh," aku terjaga dari bunga tidurku yang panjang. Aku bermimpi buruk. Nafasku seperti berlari-lari tak karuan, sesak rasanya. Keringat membanjiri seluruh tubuhku. Ke gesek kedua mata dan ku cubit tanganku sampai kesakitan. Syukurlah, aku hanya bermimpi.
Ku lihat jam dinding yang menunjukan pukul enam pagi. Sepi sekali, seperti tidak ada orang di rumah. K turuni anak tangga dan tidak ku dapati mama dimana pun. AKu teringat mimpi itu... Jangan-jangaaaannn....
Ku berlari mendekati lemari es dan benar saja....
"Gadis,
Mama pergi ke tempat kakek dan nenekmu,
Tidak lama kok sayang Cuma tiga hari, nenekmu sakit.
Maaf tidak memberitahumu sebelumnya, baik-baik ya!"
Mama.
"TIDDDAAAAAAAKK!!!" aku menjerit pilu.
Nb: Ini cerpen, gue bikin saat SMA. Gila cerpennya serem bingits gini. Mungkin tontonan gue saat itu adalah bang napi.. Jadi terangsang kriminal.. Haduh!
gambar: google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar